Surat dari Amerika, Reformasi & Resep Papua Ala Habibi.

Surat dari Amerika, reformasi dan resep Papua ala Habibie

 

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Menggagas dialog Jakarta-Papua. Membebaskan Tapol. Membuat pemekaran sepihak.

Sehari setelah Soeharto menyatakan berhenti jadi presiden, 15 anggota kongres Amerika Serikat berkirim surat ke Indonesia. Isinya meminta ada “dialog itikad baik secara langsung dengan rakyat Timor Timur dan Irian Jaya tentang hak asasi manusia dan status politik.” Surat itu diterima Bacharuddin Jusuf Habibie. Dia baru satu pekan jadi presiden Republik Indonesia.

Entah bagaimana, surat itu dengan cepat beredar luas di Papua. Protes meledak. Bintang Kejora berkibar-kibar. Rentetan senjata. Dan lagi lagi, darah tumpah.

Pada 7 Juli 1999 Human Right Watch melaporkan, ledakan kekerasan selama sepekan terjadi di Irian Jaya, nama Papua kala itu.  Pada 6 Juli, militer Indonesia menembaki kerumunan demonstran pro-kemerdekaan di Biak dengan peluru karet. Lima belas warga Papua terluka. Satu orang dikabarkan terbunuh.

Pada 3 Juli, dua mahasiswa demonstran ditembak di dekat Universitas Cenderawasih, Jayapura setelah memukul seorang intel polisi yang terluka parah. Polisi berpakaian preman itu dikabarkan meninggal; satu dari dua mahasiswa itu dalam kondisi kritis di rumah sakit Jayapura. Serangkaian penembakan ini terjadi setelah demonstrasi selama sebulan menentang pelanggaran militer dan mendukung kemerdekaan Papua Barat.

“Jika pejabat pemerintah pusat dan daerah melakukan dialog serius dengan para figur publik, pemimpin gereja, dan perwakilan organisasi HAM berpengaruh di Irian Jaya, kematian dan korban luka beberapa hari terakhir bisa dihindarkan.” kata Sidney Jones, direktur Asia Human Rights Watch lewat laporan berjudul “Masalah Kekerasan di Irian Jaya” sebagaimana dikutip dari laman hrw.org.

Jalan reformasi yang masih gelap gulita, dirintis oleh Habibie. Era baru dimulai. Pers jadi lebih leluasa dan merdeka. Lewat Keppres 123/1999, mantan Menteri Riset dan Teknologi di era Soeharto itu juga memberi amnesti kepada tahanan politik Papua, Hendrikus Kowip, Kasiwirus Iwop, dan Benediktus Kuawamba. Tapol Aceh dan timor Timur juga ikut dikeluarkan dari bui orde baru.

“Praktik amnesti mulai dikenal luas seiring dengan perubahan (reformasi) politik Indonesia pasca kejatuhan Presiden Suharto” tulis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) lewat laporan “Mempertimbangkan Amnesti bagi tahanan politik Papua”.

Puncaknya, Habibie mengajukan referendum untuk Timor Timur kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada 27 Januari 1999. Referendum digelar 30 Agustus 1999. Hasilnya, sebagian besar warga Timor Timur pilih merdeka. Provinsi ke 27 di Indonesia itu ganti nama jadi Negara Timor Leste.

Dialog Jakarta-Papua dan pemekaran

Lepasnya Timor Timur seolah jadi momentum bagi bangsa Papua, menuntut hal serupa. Pada 26 Februari 1999, digelar pertemuan di Istana Negara Jakarta antara 100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal dengan Presiden Habibie.

Deklarasi pisah dari Indonesia disampaikan kepada Habibie oleh tokoh Papua yang terdiri dari masyarakat adat, tokoh agama, akademisi, mahasiswa,perempuan, mantan birokrat dan lain-lain.

“Kami sudah cukup menderita; kami sebenarnya sudah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961; kedaulatan kami dirampas oleh Republik Indonesia; kami sebagai bangsa tidak diakui dan martabat kami diinjak-injak; segala hal ini terbukti dalam sejumlah besar pelanggaran hak hak asasi orang Papua.  Segalanya itu menjadi dasar nyata untuk menyatakan bahwa sekarang sudah cukup, dan kepercayaan masyarakat Papua pada Pemerintah Indonesia sudah tidak ada lagi,” demikian bunyi pernyataan tim 100 dalam pertemuan itu.

“Aspirasi yang anda sampaikan itu penting, tetapi mendirikan Negara bukan perkara mudah, pulang dan renungkan kembali aspirasi itu,” begitu jawaban singkat Habibie.

Semasa memimpin Indonesia kurun 1998-1999, Habibie menjadikan pemberian otonomi layaknya obat mujarab bagi wilayah yang ingin merdeka.

“Habibie menilai bahwa Perjuangan kelompok separatis Irian Jaya untuk melepaskan diri dari Indonesia, dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi hingga menghambat pelaksanaan reformasi. Oleh karena itu Presiden Habibie mengajukan penyelesaian konflik Provinsi Irian Jaya melalui mekanisme demokrasi dengan pemberian otonomi daerah sesuai UUD Ketetapan MPR UU DPR dan peraturan daerah,” tulis peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muridan S Widjojo dan Aisah Putri Budiatri dalam artikel “UU Otonomi Khusus bagi Papua; masalah legitimasi dan kemauan politik,” (Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol 9 No.1 2012).

Pemerintahan Habibie merumuskan UU No 22 Tabun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menawarkan desentralisasi; kontrol administrasi dan pengelolaan sumber daya lokal dijalankan oleh pemerintahan daerah tingkat kabupaten/ kota.

Pemerintahan Habibie juga mengeluarkan jurus lain; UU No 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai Kabupaten Mimika Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.

Habibie juga menetapkan dua gubernur Provinsi Irian Jaya bagian Tengah dan Barat, yakni Abraham Atururi dan Herman Monim yang sebelumnya menjabat Wakil wakil Gubernur Irian Jaya.  Kedua gubernur baru itu dilantik secara diam-diam di Jakarta pada 11 Oktober 1999.

“Kedua kebijakan tersebut diambil oleh pemerintahan Habibie dimaksudkan untuk mendekatkan masyarakat Papua dengan pemerintah. Sebaliknya masyarakat Papua yang kritis justru menilai bahwa kebijakan ini diambil dengan maksud untuk memecah belah dan menguasai Papua, seperti yang selama ini biasa dilakukan oleh pemerintah,” tulis Muridan dan Aisah.

Aksi unjuk rasa terjadi di sejumlah kota di Papua, menolak kebijakan itu. Puncaknya, massa menduduki kantor Gubernur Papua pada 16 Oktober 1999.  Pada hari yang sama DPRD Tingkat I Irian Jaya juga mengadakan sidang istimewa dan menuntut pencabutan pemekaran wilayah Irian Jaya serta membatalkan Keppres pengangkatan dua gubernur.

Habibie dikenang sebagai negarawan sekaligus ilmuwan. Sosok yang juga dikenal romantis itu, tutup usia pada angka 83 tahun, 11 September 2019. (*)

Editor: Angela Flassy 

@bicaramampap 

pacefanindi.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catharina